KEPERGIAN RIA
( Denny Sofiastuti )
Angin
berhembus kencang udara
dingin mulai datang menyapa. Daun-daun
jatuh berguguran. Cerahnya warna langit telah berganti menjadi gelap. Baju di
depan rumah yang dari tadi pagi dijemur langsung diambil, dimasukkan ke dalam rumah.
Kucing milik tetangga depan rumah berlari kencang lalu masuk ke dalam rumah,
seperti takut jika bulu cantiknya terkena sesuatu.Serempak lampu dari rumah ke
rumah dinyalakan agar ada
sedikit cahaya yang menerangi. Suasana Ibu Kota tetap terang meski hanya dengan
lampu-lampu rumah dan jalanan, tapi terangnya suasana Ibu Kota tidak sama
terangnya dengan suasana langit.
Tepat
pukul 19:00wib. Adzan
berkumandang dari masjid kampung sebelah rumah. Kali ini suara adzan tidak
sekeras biasanya, karena tertutup oleh derasnya tetesan air yang
jatuh dari langit. Benar sekali, malam ini langit kembali bercerita. Seperti
layaknya manusia. Ia meneteskan
segala kesedihannya lewat tetesan air. Tetesan air yang rela jatuh berkali -
kali meski sebenarnya mengerti bahwa yang jatuh itu rasanya sakit. Apalagi
harus jatuh berkali-kali.
Tetesan
air itu perlahan mulai membasahi tanah yang tadinya kering.Perlahan mulai
membasahi pohon rimbun dan bunga yang mekar dengan sempurna. Perlahan mulai
membasahi genteng rumah. Tidak, cerita ini bukan bercerita tentang terjadi nya
hujan , asal usul hujan , berapa kali hujan turun dalam semalam , tanda-tanda datangnya hujan, atau
bahkan menghitung seberapa banyak tetesan air yang turun selama hujan
berlangsung. Perlahan tetesan air itu mulai membasahi jendela yang sedang aku
tatap sekarang.
Namun,
sekarang tempat ini menjadi tempat favorite
ku.Tempat aku duduk dengan tenang dan beristirahat
sebentar tentang berbagai masalah yang terjadi dalam hidup . Tempat aku berbagi
semua yang aku rasakan dengan tetesan air hujan. Tempat di saat aku memikirkan banyak
pertanyaan , tetapi tetap saja mulut ini selalu terasa kelu jika di minta untuk
menyampaikan tentang pertanyaan itu. Pikiran ini tak lagi pernah kosong. Begitu
juga tatapan mata ini. Terkadang bayang-bayang
itu datang dengan cara tiba-tiba
, seperti halnya kejadian nyata yang tepat terjadi dihadapan mata. Kejadian buruk yang baru aku ketahui.
Kejadian buruk yang membuat hidup seseorang hancur sampai di napas terakhir hidupnya. Sungguh
sangat menyakitkan sekali. Bahkan , jika aku diberi kesempatan untuk mengetahuinya dari dahulu aku akan berusaha
untuk menghiburnya, membuatnya tersenyum sepanjang hari. Tetapi Tuhan mempunyai
rencana lain. Rencana yang lebih indah dari yang kita inginkan, seperti halnya
kata-kata bijak itu ditulis.
“Bagaimana? Sudah siap dengan hari ini?“
Tanya suara yang tak asing lagi bagiku.
Benar
sekali. Hari ini adalah hari pertama ku duduk di bangku SMA. Hari yang paling aku tunggu.
Bertemu guru baru , sekolah baru , dan tentu nya teman-teman baru. Seperti nya
hal itu sangat menyenangkan sekali.
Tepat
saat aku berada di pintu pagar sekolah , bel masuk pun telah berbunyi. Tanpa
menghiraukan pembicaraan pak Satpam , aku langsung menuju papan pengumuman dan
mencari dimana nama ku tertera. Dengan cepat aku langsung berjalan mencari
kelas ku yang baru. Seperti nya hari ini aku terlambat karena terlalu sibuk
menyiapkan barang-barang yang aku bawa
saat hari pertama ini. Untung saja , ada satu bangku yang masih kosong. Aku pun
duduk dan meletakkan tas ku. Sambil menunggu guru datang , aku berkenalan
dengan teman yang sebangku dengan aku. Sepertinya anak itu sedang bersedih,
jika dilihat dari raut mukanya, dIa tak bersemangat seperti aku. Tanpa berpikir
panjang dan sekalIan ingin menghiburnya aku langsung bertanya.
“Hei,
boleh aku bertanya?“ Ujar ku
yang setengah bingung. Dia
hanya menoleh. Mengangguk. Lalu tersenyum padaku.
“Siapa
namamu? Perkenalkan namaku Nilam,”
jawab ku sambil ikut tersenyum.
“Namaku
Ria.” Sahutnya sambil mengajakku untuk bersalaman.
Sayangnya
percakapan kami langsung berhenti. Cepat sekali guru itu masuk ke kelas kami.
Padahal, masih beberapa menit yang lalu aku duduk dibangku itu lalu mengajak
berkenalan
Ria.
Lupakan soal berkenalan, karena hari pertama sekolah kali ini langsung disambut
dengan pelajaran. Pelajaran kali ini pelajaran favorite ku. Sejak di bangku sekolah dasar aku sangat menyukai
pelajaran yang mengandalkan hitung-hitungan dan sastra. Tidak hanya menyukai,
aku juga berhasil memenangkan banyak sekali lomba dan olimpIade, seperti
pelajaran Matematika , dan IPA.
Ditengah-tengah
pelajaran, aku sering memperhatikan Ria. Sepertinya Ria sedang tidak baik-baik
saja hari ini. Tatapan mata nya selalu kosong. Aku semakin penasaran ingin
mengenalnya lebih jauh. Aku ingin menjadi teman dekatnya. Aku juga ingin
menghiburnya. Saat istirahat pertama, aku menawarkan bekal yang ibu bawa kan
kepadanya. Ria tak mau dan menolak dengan halus sambil tersenyum. Aku berfikir,
mungkin Ria masih malu karena kami masih
baru berkenalan. Besok aku harus lebih sering mengajaknya berbicara ,
mengajaknya bercanda , dan berbagi bekal dengan nya.
Bel
berdering tiga kali. Satpam bersIap untuk membuka pagar. Hari pertama sekolah
telah usai. Waktunya kembali ke rumah, menceritakan kejadian hari ini bersama ayah dan ibu.
Hari
kedua telah berjalan. Hari Ketiga tak ada hasil apa apa. Hari keempat juga tak
mendapat hasil. Hari kelima tak ada perkembangan. Hari keenam sama saja. Hari
ketujuh , pemilihan kegiatan
sekolah, sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengenalnya.
Berpilin.
Melesat. Lalu membuka mata. Sepertinya aku tak asing lagi dengan tempat ini.
Benar sekali. Tempat ini adalah sekolah ku. Kelas ini adalah kelas pertama ku
waktu dulu pertama kali masuk sekolah. Teman-teman semuanya duduk rapi dan di bangku belakang, Nilam bersama ku
di sana.
Tetapi anehnya ada seseorang yang tinggi dengan berjubah putih di sebelahku sekarang.
“Siapa
kau? Bagaimana ini bisa terjadi?” tanyaku
padanya.
“Tidak
semua orang di dunia ini memiliki kesempatan yang sama seperti kau. Hanya
orang-orang tertentu saja yang mendapatkan kesempatan ini. Kesempatan untuk
menjawab semua pertanyaan yang sering kau tanyakan semasa hidupmu, Ria. Kau
akan mendapat jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini membuat sesak
dihati mu. Aku akan menemani kau menjawab segala pertanyaan yang pernah kau
ucapkan. Dua pertanyaan , Dua jawaban. Bersiaplah!”
Ungkap orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
***
Semua
siswa diberi lembaran masing-masing untuk diisi. Lembaran itu berisi tentang
kegiatan di sekolahku. Semua siswa sangat berhati-hati dalam mengisi lembaran
itu, dan aku memilih untuk mengikuti English
Club dan Paskibra Sekolah. Selain menyukai pelajaran, aku punya cita-cita
untuk bisa jadi anggota Paskibra Nasional, yang bisa mengibarkan Bendera Merah
Putih di tiang tertinggi di Indonesia.
Aku
telah selesai mengisi lembaran itu. Tetapi , Ria masih sibuk menulis. Tanpa
berpikir panjang aku pun melirik tulisan itu, dan ternyata dIa memilih kegiatan
Paskibra dan Pramuka Jelajah. Aku ingin sekali lebih dekat dengan nya.
Akhirnya, aku juga memilih untuk mengikuti Pramuka Jelajah. Semoga saja
keinginan ku bisa tercapai.
“Kau
sudah mengisi lembarannya?” Ujar
ku pada si tomboi teman sebangkuku
itu.
“
Sudah. Bagaimana dengan kau?” Jawab Ria yang selama ini selalu dIam.
“
Sudah. Aku mengikuti English Club ,
Paskibra , dan Pramuka Jelajah.” jawabku.
“
Baiklah , kita akan bertemu di Ekstrakulikuler juga.” jawabnya singkat.
“Oh
ya? Kau mengikuti apa saja? Mengapa kau ikuti itu ?” tanyaku pura pura tak tau.
“
Aku suka tantangan dan keadaan alam , maka dari itu aku mengikuti Pramuka
Jelajah. Dan aku sangat mencintai tanah air , maka dari itu pula aku mengikuti
Paskibra.” jawabnya singkat dan jelas.
Ternyata
dugaanku benar sekali. Lucu sekali memang. Namanya berarti malaikat. Tetapi ,
Gaya dan cara berbicaranya sama sekali tak seperti seorang wanita , namun
seperti seorang laki-laki. Nanti, jika aku sudah dekat dengannya , aku akan
memanggilnya dengan sebutan “ Malaikat Tomboi”
. Ria pasti akan tersenyum, karena sebutan itu sangat lucu sekali.
Belum
lama setelah mengisi lembaran itu, aku dan Ria dipanggil untuk menuju ke
ruangan Pramuka Jelajah di sebelah kantin sekolah. Ternyata, aku dan Ria terpilih
menjadi satu kelompok untuk melaksanakan tugas sebelum resmi menjadi anggota
Pramuka Jelajah. Pembina Pramuka Jelajah meminta Aku dan Ria untuk melakukan
perjalanan berpetualang semalam , di alam yang bebas. Kebetulan saja tidak
hanya Aku dan Ria , tapi juga bersama satu kelompok lain lagi. Hutan Bambu
menjadi tempat berpetualang Aku dan Ria. Mendengar hal itu raut muka nya tak
pernah sebahagia ini.
Bel
pulang pun sudah terdengar. Aku meminta Ria untuk pergi ke rumah ku , mempersiapkan
barang-barang yang akan dibawa saat berpetualang besok. Ria pun mengangguk,
setuju dengan permintaanku.
Sesampainya
di rumah ,
aku langsung mengajak Ria untuk ke kamar ku. Ria sangat berpengalaman dalam
mempersiapkan barang-barang yang akan kami bawa saat jelajah besok. Ria juga
sangat terampil dalam mengajari aku tentang apa yang harus disiapkan, berapa
banyak kami harus membawa nya, dan bagaimana cara mengemas dengan baik ditas
kami. Kami sudah mulai bergurau. Sepertinya Ria sudah mulai senang berteman
dengan aku.
Semua
nya sudah siap. Tertata rapi di dalam dua tas yang akan kami bawa. Setelah
lelah mengemas perlengkapan, aku pun mengajak Ria untuk turun dan makan bersama
ayah dan ibu. Ketika duduk di meja makan, raut wajah Ria langsung berubah. Aku
tak tau mengapa tiba-tiba seperti itu, aku hanya berpikir bahwa Ria masih malu
jika harus bersama ayah dan ibu. Aku berusaha membuat raut wajahnya kembali
seperti tadi.
Hari
berjalan dengan cepat , seperti harimau yang sedang mengejar mangsa nya. Pagi
cepat digantikan dengan siang. Siang tergantikan dengan sore. Sore berganti
dengan malam. Tak terasa , aku sudah berada di bus sekolah, bersiap untuk
berpetualang dengan Ria.
“Kau
mau berjelajah atau pergi ke mall?”
Ujar Ria setengah menggoda aku.
“Apa
yang salah? Apa aku
terlihat lebih cantik?” Jawab aku ikut menggoda.
“Kau
memakai seluruh jepit yang kau punya, kau juga memakai jam tangan dan gelang
sebanyak selusin. Eh, kau juga memakai sepatu yang seperti itu. Bisa ku jamin,
jepit dan gelang yang kau pakai akan berkurang banyak setelah kita pulang
nanti.” Ungkap Ria yang sekali lagi menggoda aku.
“Hei,
rupa nya kau memperhatikan aku ya? atau kau tidak suka jika aku berdandan
seperti ini?Aku terlihat cantik dengan pernak-pernik yang ku pakai. Kau juga
terlihat sangat tampan sekali dengan sepatu bot itu, seperti bukan
perempuan.” Jawab aku membalas godaan Ria.
“Aku
selalu terlihat tampan, dan ketampananku cocok sebagai seorang penjelajah.
Tidak seperti kau, penjelajah yang salah pakaIan seperti mau ke mall.” Jawab nya singkat namun lucu
sekali.
Baru
kali ini aku berada ditempat seperti ini. Udara sejuk, pemandangan yang sangat
asri sekali membuatku tak pernah berhenti memuji yang ada dihadapanku saat ini.
Disertai dengan embun dan kabut yang membuat pemandangan semakin cantik. Burung-burung
kembali berterbangan, sepertinya sedang mencari mangsa. Aku yang sedang berdiri
di depan tenda merasa sangat tenang sekali. Sungguh indah sekali kuasa-Mu ini.
“Jika
kau terus menerus berdiri di depan tenda, menikmati pemandangan, tugas kita tidak
akan selesai. Segera ambil tas dan barang barang yang kau perlukan. Kita akan
mencari simbol tunas kelapa, padi dan kapas, dan lambang pramuka. Aku tunggu
disini.” Ujar Ria yang setengah serius setelah menggoda aku.
“Siap
Laksanakan Komandan.” Jawabku menggoda Ria.
Perjalanan
yang pertama kali aku lakukan. Mencari simbol-simbol itu. Semua nya telah kita
temukan. Meskipun, harus melewati rumput-rumput, lumpur yang sangat bau, dan
pohon yang tumbang. Saat nya kita bersIap untuk pulang. Mengemas kembali barang-barang
yang kami bawa. Perjalanan pulang sepertinya lebih cepat dibanding perjalanan
saat aku dan Ria bersIap untuk menyelesaikan tugas. Tak terasa juga kita sudah
sampai di sekolah dan bersIap untuk kembali ke rumah.
Saat
aku membongkar seisi tasku , mengeluarkan perbekalan yang aku bawa kemarin
bersama Ria , aku menemukan sesuatu. Sepertinya aku tak pernah menyimpan
selembar kertas yang sudah berubah warna nya itu dan aku juga tak membungkus
peralatan dengan selembar kertas itu. Aku rasa ini milik Ria. Besok, ketika
masuk sekolah aku akan mengembalikan selembar kertas itu pada nya.
***
“Mengapa
aku harus sekolah dan bertemu teman-teman baru yang lengkap mempunyai ayah dan
ibu? Itu pertanyaan pertama kau , Ria. Pertanyaan yang sampai sekarang masih mengusik
hati dan pikiran kau.” Ujar orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang
menyenangkan itu.
“Aku
tidak akan menjawab seperti Ibu Panti, bahwa kau harus sekolah karna kau
mempunyai masa depan. Tidak, aku tidak akan menjawab seperti itu karena kau berbeda. Jika anak lain bersekolah hanya mendapatkan
ilmu dan pengalaman saja, kau mendapatkan lebih. Kau mendapat guru yang tak
dapat kau dapatkan dimana saja, yaitu pengalaman. Kau diberi pengalaman untuk
mengenal berbagai hal, termasuk arti persahabatan. Lewat sekolah kau
dipertemukan dengan Nilam, seseorang yang tak pernah kau kenal sebelumnya. Apa
kau mengerti? Nilam sangat menghargai persahabatan yang kalIan jalani. Ia
sangat mementingkan kebahagiaan yang dapat kau rasakan. Ia juga sangat bangga
bisa bersahabat dengan kau, dan Ia sangat teramat menyayangi persahabatan yang
kalIan jalani. Itulah kebahagIaan yang belum pernah kau rasakan dan kau ketahui
selama ini, Ria.” Sambung orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang
menyenangkan itu.
“Itulah
jawaban dari pertanyaan pertama kau , Ria. Satu hal yang tak pernah kau
mengerti, akhirnya telah terungkap. Terus terang saja, aku sangat iri melihat
persahabatan kalIan. Persahabatan yang tak seperti biasanya, namun memiliki
warna yang sangat berbeda.” Kata orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang
menyenangkan itu.
Aku
menyeka ujung-ujung mataku. Terharu. Aku tak pernah menyangka jika ada
seseorang yang sangat bangga pada ku, seperti Nilam. Aku juga sangat menyayangi
persahabatan kita. Aku akan berdoa yang terbaik untuk kau selalu, Nilam.
***
“Apa
ini milikmu?” tanyak ku
sambil memberikan selembar kertas itu.
“Kau
dapat dari mana?” Jawabnya sambil langsung mengambil selembar kertas itu.
“A..aku
menemukannya di tas. Apa
itu penting?” Jawabku terlihat gugup.
“
Tak apa, ini hanya selembar kertas.” Ujar Ria seperti ada yang ditutupi.
Aku
bingung. Entah apa yang disembunyikan Ria terhadap aku. Lupakan soal lembaran
kertas, karena aku dan Ria harus pulang. Mempersiapkan segala keperluan untuk
upacara memperingati hari Kemerdekaan besok. Berharap esok tak ada hambatan
apapun.
Tetapi,
harapan itu sirna sudah. Entah apa rencana langit pada pagi ini dan apa juga
kehendak Tuhan di pagi yang sangat cerah ini. Ketika pemimpin upacara berterIak
untuk hormat kepada bendera merah putih , raut wajahnya mulai pucat. Aku yang
sedang menarik bendera tidak konsentrasi melihat raut wajahnya. Lagu Indonesia
Raya akan berhenti beberapa detik lagi.
Saat
pemimpin upacara memberi aba-aba untuk kembali bersiap, malaikatku langsung jatuh. Langsung seisi lapangan sibuk dengan
percakapan siapa yang jatuh pingsan dan mengapa hal itu bisa terjadi. Aku
langsung berlari menghampirinya, tak meghiraukan banyak percakapan yang ada.
“Ria,
aku bertahanlah..bertahanlah.” Kata
ku sambil menggendongnya ke ruangan kesehatan sekolah
“Ria,
aku di sini...aku
mohon bertahanlah, dengarkan aku.” Ujar ku sambil menangis.
Penjaga
ruang kesehatan sekolah menyuruhku untuk keluar, dan memutuskan untuk membawa Ria
ke rumah sakit terdekat. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Selama ini , Ria
tak pernah seperti ini. Kesehatan fisiknya selalu kuat, seperti seorang
laki-laki. Bergegas aku langsung ikut pergi ke rumah sakit.
“Aku
mohon selamatkan sahabatku...aku mohon.” teiakku
di ruang utama rumah sakit.
“Tenanglah,
nak. Sahabatmu akan baik-baik saja.” Jawab dokter separuh baya itu.
Lama sekali dokter memeriksa keadaan Ria.
Pikiranku sudah kacau. Membayangkan hal buruk akan terjadi. Entah apa rencana
Tuhan hari ini. Aku berdoa, semoga hal buruk itu tak pernah terjadi. Tak lama
setelah itu, dokter pun keluar dengan wajah yang tak semestinya.
“Bagaimana pak? Dia baik baik saja kan?” Kata ku
sambil menangis.
“Maafkan aku , nak. Kuatkan lah hati mu.” Ucap
dokter sambil menyentuh pundakku.
Tak puas dan tak mengerti
apa arti jawaban dari pak dokter, aku langsung memutuskan untuk masuk ke dalam. Tuhan, benar sekali
pikiranku tentang hal buruk itu. Ria sudah tersenyum. Menutup matanya untuk
selama-lamanya. Apa rencana-Mu ? Mengapa engkau tega mengambilnya dari aku?
Bahkan aku belum sempat untuk mengucapkan kata-kata terakhir untuknya, aku juga
belum sempat mengucapkan kata-kata selamat tinggal.
“Mengapa kau tega meninggalkan aku? Kau juga tega
meninggalkan persahabatan kita? Mengapa?” Ucapku sambil menangis di sebelahnya.
Semenjak kejadian itu, semuanya terasa sangat
hampa. Ucapan bela sungkawa, kalimat penenang, tak mampu lagi membendung
kesedihan ini. Aku tidak bisa melihat senyumnya lagi, melihat gaya bicara nya
yang sangat lucu sekali. Hanya ditemani barang-barang miliknya yang sengaja
oleh Ibu Panti Asuhan diberikan padaku. Sampai suatu malam aku menemukan
selembar kertas itu lagi, namun aku masih tak berani membukanya karena itu
masih menjadi barang miliknya.
***
“Di mana aku?” tanya ku pada orang
tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Tempat
ini adalah tempat kau tinggal bersama ayah dan ibu. Tempat yang mampu
memberikan kau kebahagiaan yang tak pernah kau dapatkan sampai sekarang. Mari
kita lihat apa yang terjadi. Aku akan menjawab pertanyaan terakhir milik kau
disini, Ria. Kau akan mengerti cerita yang sesungguhnya. Bersiaplah. Kuatkan
hatimu.” Ujar orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
Anak
kecil yang berusia sekitar tiga tahu itu dibawa pergi ke atas. Waktunya untuk
tidur. Ibunya menggendongnya menuju atas. Ayahnya masih melihat tontonan
televisi yang sedang menyIarkan tentang pertandingan bola. Tak lama kemudian,
ayahnya menyusul naik ke atas, mengantuk.
“Tidak
ada yang tau apa yang akan terjadi pada pukul tiga dini hari itu. Semua nya
tidur, terlelap. Tidak ada yang mendengar teiakkan para penduduk di perumahan
itu. Kau, Ayah, Ibu terlelap dalam mimpi masing-masing. Sampai akhirnya kobaran
api itu menyambar lantai dua rumah milik ayah ibu kau.” Kata orang tinggi
berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Ayah..!!
Ibu..!! Bangunlah aku mohon!!” Teriakku
membangunkan mereka.
“Kau
tidak bisa membangunkannya , Ria. Kau tidak bisa melakukannya” Jawab orang
tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Aku
mohon, kau pasti bisa membangunkannya. Tolong, tolong selamatkan ayah dan ibu
ku.” Pinta ku sambil menangis.
“Kau
terlambat , Ria. Sangat terlambat. Kau tidak bisa merubah kejadIan di masalalu.
Di sini kau
hanya bisa melihat dan kau di sini
juga karena permintaan ibu kau di detik-detik terakhir hidupnya.” Tutur orang
tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu sambil menyeka ujung
matanya.
“Apa
maksud dari yang kau bicara kan?” kata ku menangis sambil memegang tubuh kedua
orangtuaku yang telah menjadi abu.
“Di saat semua bagian dari rumah kau
akan terbakar, ibu mu menaruh kau di parit. Berharap kau bisa selamat. Ketika
ibu mu akan menjemput detik-detik terakhir hidupnya , Ibu mu berkata ‘Bagaimana bisa anak ku mengenal wajah ayah
ibunya, Tuhan? Bagaimana bisa?’ . Maka, malam ini kau diberi kesempatan
melihat wajah ayah-ibu mu atas permintaan ibu mu di detik-detik terakhirnya, Ria.”
Jawab orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Sungguh,tega
sekali orang yang ingin membakar perumahan milik orangtua mu yang akan
dijadikan sebagai pusat perbelanjaan itu. Apa kau mengerti? Siapa yang menyuruh
menghabiskan rumah dilahan ini? Bahkan , kau tidak asing jika melihat wajah
orang ini.” Sambung orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan
itu
“Apa
aku tak salah melihatnya? Ini Ayah Nilam.” Kata ku dengan nada suara yang
tinggi.
“Kau
benar sekali. Ayah Nilam yang akan membangun pusat perbelanjaan itu. Tapi, ayah
Nilam tak pernah ingin membunuh semua orang yang ada di perumahan itu. Ayah
Nilam sudah menyuruh orang untuk membangunkan seluruh warga diperumahan itu.
Entah mengapa orang itu tak melaksanakan tugasnya. Mengapa juga malam itu tidak
turun hujan sehingga kebakaran itu tak terjadi. Maka dari itu, ayah Nilam
selalu baik pada kau , Ria. Ayah Nilam tau jika kau salah satu anak dari korban
kebakaran itu. Bahkan, Nilam tak pernah mengerti jika kau salah satu korban
dari bisnis ayah nya itu. Kau tak boleh sepenuhnya menyalahkan ayah Nilam, Ria.
Kau boleh saja menyalahkan orang yang disuruh membangunkan seluruh warga pada
malam itu. Kau juga boleh menyalahkan langit yang tak menurunkan hujan pada
malam itu. Tapi kau tak bisa mengubah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan ,
Ria. Kau tidak bisa.” Sambung orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang
menyenangkan itu.
“Tugasku
sudah selesai menemani kau dan menjawab dua pertanyaan yang telah mengusik
hidup mu selama ini, Ria. Kuatkan lah hati mu, karena yang mempunyai nasib yang
lebih buruk dari kau masih banyak, dan kau satu-satu nya yang beruntung bisa
memiliki kesempatan ini. “ Kata-kata orang tinggi berjubah putih dengan wajah
yang menyenangkan itu.
“Aku
harus bisa kuat. Aku harus bisa menerima semuanya.” Kata ku sambil mengusap air
mata yang tak berhenti menetes dari tadi.
***
Entah
apa yang terjadi padaku. SetIap aku melihat barang-barang miliknya semuanya
langsung kembali. Senyum manis diwajahnya, Gaya bicaranya, Raut mukanya yang
penuh teka-teki membuatku tak mampu membendung rasa kehilangan ini.Bahkan aku
belum sempat memanggilnya dengan sebutan ‘Malaikat Tomboi’. Air mata ini langsung jatuh, sangat deras. Derasnya air
mata ini sama dengan derasnya tetesan air yang jatuh dari langit. Derasnya
tetesan air yang mulai membasahi jendela yang sedang aku tatap sekarang. Mata
ini memang menatap jendela, menatap diluar sana semunya terasa bersedih.
Menatap
jendela dengan penuh kesedihan, itulah tempat favorite ku semejak kehilangan Ria. Aku akan mendoakan kau dari
sini, Ria. Aku akan tetap membahagIakan kau meskipun kau tak bersamaku
sekarang. Karena bagiku kau sama seperti arti namayang orangtua kau berikan.
Kau sudah menjadi malaikat untukku, untuk semua orang, dan untuk tanah air.
Di balik Nasi Goreng
Seefood
Ting tong. Ting tong. Ting tong. Ting
tong.
Suara bel depan rumah yang terus
dibunyikan lantas membuatku langsung membuka mata kesal. Siapa yang datang
pagi-pagi begini? Kulirik jam di atas nakas
telah menunjukkan Pukul
07.00.
Sudah agak siang rupanya, berarti aku ketiduran lagi setelah
shalat subuh. Kata Mama seusai shalat subuh harusnya nggak boleh tidur. Tapi
mau gimana lagi? Aku sangat mengantuk pagi ini. Oh iya, sepertinya bel itu
sudah tidak berbunyi lagi. Apa tamu asing itu sudah pergi? Kalau iya, bagus
sudah. Aku bisa tidur lagi.
Tok tok tok
Sekarang gantian pintu kamarku yang
berbunyi. Membuatku kembali membuka mata. Namun, aku kembali memejamkan mata.
Karena selain mengantuk, aku juga sedang tidak ingin berpisah dengan kasur
empuk nan nyaman pada saat liburan begini.
“Rei, apa kamu sudah bangun? Ada Rafa
di bawah.”
Suara Mama terdengar sampai telingaku yang berada dibalik selimut. “Mama masuk,
ya.”
Terdengar suara pintu dibuka, lalu
tidak ada lagi selain suara pintu yang kembali menutup. Mama mengira kau tidur,
mungkin. Ya, sudahlah. Lagipula, aku sama sekali tidak ingin melihat muka Rafa
dihari libur begini.
Entah kenapa, firasatku mengatakan aku
hanya akan terkena masalah jika Rafa menampakkan wajahnya di hadapanku atau aku
yang melihatnya.
“Sudahlah, daripada mikir yang
enggak-enggak, mendingan aku tidur lagi.”
*******
Persahabatan. Kata benda dari hubungan
dua orang yang saling mengenal kemudian menjadi teman dan menjadi lebih dekat.
Saling menjaga dan menolong saat ada masalah. Intinya, suka duka bersama. Dan
sahabat adalah para pelaku dalam persahabatan. Orang-orang beruntung yang dapat
tulus menyayangi seseorang sekaligus beruntung karena dikarunIai seorang
sahabat yang juga balik menyayanginya. Namun, beberapa orang selalu salah
mengartikan hubungan antara dua orang atau lebih terhadap persahabatan. Hanya
dengan saling mengenal, dekat, mereka menjadi sahabat. Padahal, bukan itu inti
dari sahabat. Definisi sesungguhnya dari sahabat adalah orang yang selalu
perhatIan, ada disaat kau senang atau sedih. Bukan hanya sekedar menyapa dipagi
hari, saling berbicara tentang topik ter-hits, kemudIan mengucapkan ‘dah’ saat
berpisah. Tidak. Jelas bukan. Sahabat memiliki sesuatu yang lebih daripada itu.
Lebih natural dan tulus. Seakan setIap kalian bertemu, tidak ada lagi kejelekan
yang kalian pendam karena dengan sahabat, watak asli kalian, mau tidak mau akan
terlepas macam merpati yang baru saja keluar kandang setelah hujan deras
melanda.
Atau, kurasa ada definisi lain soal
itu dan penjelasan yang lebih bisa dimengerti orang yang awam akan persahabatan
seperti diriku. Entahlah, aku tidak yakin betul pasal kata berbunyi ‘S-A-H-A-B-A-T.’ Apa begitu pentingnya
seorang sahabat untuk makhluk bernama manusIa? Padahal, saat mereka dilahirkan
kedunia, mereka sendiian dan saat menemui ajal pun mereka pasti akan sendiian.
Lalu, apa gunanya sahabat? Tidakkah dari penjelasan, sahabat hanyalah pengisi
waktu dihidup agar hidup jadi tidak membosankan? Hanya itu. Menurutku, sahabat
hanyalah sebuah kata tanpa arti, dan tanpa guna. Bersosialisasi dengan
seseorang yang hanya akan menyusahkan atau memanfaatkanmu itu adalah hal yang
tidak berfaedah sedikit pun dan juga hanya membuat waktu berhargaku terbuang sia-sia.
“REINA !!!”
Langsung saja kututup novel bertemakan
persahabatan yang membuat pikiranku menjadi tidak terkontrol untuk memikirkan
sesuatu yang tak berarti seperti persahabatan. Mungkin, aku tidak perlu
membacanya lagi. Ya, lagipula tidak ada artinya juga buatku, apakah aku
membacanya atau tidak.
“REINA !!”
Segera saja kuletakkan kembali novel
itu ke rak paling atas. Tempat buku-buku yang sudah sangat jarang kubaca. Ya,
tempat di mana
novel-novel bertemakan sesuatu yang berbau ‘persahabatan.’
*******
“Kenapa kamu lama sekali, Rei?”
“Maaf, Ma.” Kataku langsung membuat
mama terkekeh geli.
“Melamun lagi?” seperti bIasanya,
tebakan belIau selalu benar. “Kamu jangan suka melamun gitu dong, Rei. Mama
suka paranoid kalau kamu nggak jawab panggilan Mama sampai tiga kali.”
Aku hanya bisa mengangguk. Karena
memang akhir-akhir ini aku lebih suka melamun. Mungkin ini efek liburan yang
hanya kuhabiskan dengan berdIam diri terus di rumah. Aku bahkan belum
menginjakkan kakiku keluar sejak seminggu yang lalu. Mama bahkan pernah mengira
aku terkena penyakit aneh dan memanggil dokter spesIalis ke rumah.
“Rei! Tuh kan, kamu melamun lagi!”
ujar Mama sembari terus menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku. “Ya ampun,
lama-lama Mama bisa jadi stress kalau ngomong tapi nggak ada yang peduli.”
“Maaf, Ma.”
Mama kemudian meletakkan piring berisikan
nasi goreng seafood tepat di hadapanku. Mencium baunya saja sudah tergoda
apalagi melihatnya. Jelas tidak tahan. Lagipula, perutku sudah terlalu lapar
untuk menahan godaan yang terpampang jelas di hadapan. Kuraih sendok dan
langsung melahap makan siangku.
“Pelan-pelan. Kalau mau nambah, masih
banyak kok.” Mama tersenyum ke arahku. “Oh iya, tadi pagi Rafa datang lho.
Katanya mau ngajak ketemuan bareng teman-teman baru kamu di SMA. Tapi kamu
masih tidur makanya Mama bilang kamu nggak ikut. Nggak pa-pa, kan?”
Aku mengangguk saja. Lagipula, apa sih
yang dipikirkan Rafa? Sudah kubilang aku sama sekali nggak tertarik pasal semua
yang berkaitan dengan sosialisasi.
Apalagi rencana Rafa yang terpampang jelas di wajahnya seperti proposal begitu
berhadapan denganku. Entah kenapa tetanggaku sejak kecil itu selalu saja
merencanakan hal-hal aneh untuk membuatku bisa berteman.
Sejak
dulu, hal itu mustahil karena aku home schooling. Tapi saat menginjak bangku
SMA, Mama dengan teganya memaksaku masuk ke SMA Negeri di dekat rumah. Padahal,
aku sudah sangat-sangat nyaman dengan dunIaku. Menurutku, tidak ada seorang pun
yang bisa dipercayai. Apalagi, untuk anak-anak SMA. Kelabilan mereka hanya akan
mendatangkan rasa sakit secara berkala. Lebih baik aku tidak punya teman sekalian.
“Tapi, Rei. Mama kok nggak pernah
lihat kamu ngomong sama orang lain gitu, ya? Sama Rafa juga kayaknya cuma ala
kadarnya. Kamu punya teman kan, Rei?” Mama lantas menatapku dengan tatapan
khawatir yang selalu memunculkan kerutan di antara
kedua alisnya. Ciri khas Mamaku. “Kamu nggak anti sosIal, kan?”
“Apa pentingnya punya teman atau
tidak? Aku cuma perlu diriku sendiri untuk hidup. Tidak perlu orang lain. Aku
akan berusaha menangani semua masalah yang kualami.” Jelasku pelan. Karena jika
aku mengatakannya dengan nada biasanya,
aku hanya akan berakhir diceramahi sepanjang hari. Atau parahnya sepajang
liburan.
“Kenapa? Kamu masih trauma tentang
kenangan buruk dari Papa?”
Aku menggeleng cepat. Yang malah
membuat Mama semakin menatapku curiga.
“Jangan pikir semua orang itu sama,
Rei. Tidak semua orang akan mengkhianati
orang lain semudah membalikkan tangan. Lagipula tidakkah kamu bosan sendirian terus?”
“Jangan menatapku dengan tatapan
seperti itu, Ma. Mama tahu sendiri, ‘kan kalau Papa.....,-“
“Mama memasukkanmu ke SMA Negeri dengan
tujuan traumamu itu bisa hilang, sayang. Peristiwa itu sudah bertahun-tahun
yang lalu. Sebaiknya kamu lupakan saja dan mulai yang baru. Cobalah berteman.”
Mama memotong perkataanku. Jadi, Mama juga masih sensitif kalau aku menyinggung
soal papa.
“Aku hanya terus mengingat hal penting
dari peristiwa menyakitkan itu, Ma. Aku akan selalu membatasi gerakan
orang-orang disekitarku. Aku sama sekali tidak akan mempercayai orang semudah
Mama mempercayai kebohongan Papa saat itu.” Kataku sebelum berdiri dan beranjak
dari ruang makan.
Sesaat sebelum aku benar-benar keluar
dari ruangan itu, kudengar perkataan mama yang serasa menyayat hatiku. Namun,
apalah daya. Aku hanya tidak ingin kembali merasakan perasaan sesak nan
menyiksa yang akan membuat dadaku seperti terhimpit.
*******
Akan lebih baik jika manusia bukan makhluk sosial.
Yah......begitulah kalimat yang selalu
berputar mengitari kepalaku selama liburan kali ini. Aku benci IPS. Apapun yang
berkaitan dengan IPS. Terutama pasal bersosIalisasi. Itu kelemahan mutlak
milikku yang hanya diketahui oleh mama. Semua orang mungkin mengira aku
membenci orang lain yang asing bagiku. Walau itu benar, aku melakukannya hanya
untuk menjaga hatiku dari yang namanya ‘pengkhianatan’.
Kriet.....
Aku langsung menoleh begitu kudengar
suara pagar belakang rumah terbuka. Jika saja karena angin seperti biasanya, mungkin aku takkan kaget.
Namun, beda lagi jika tangan Rafalah yang membuka gerbang itu. Jelas ini
membuatku langsung menekuk wajah dan menatap kearahnya tajam.
“Hai.” Tanpa permisi, dia masuk kedalam taman belakang
rumahku dengan lambaian tangan
serta senyuman. Entah kenapa, dia
membuatku agar was-was saat tersenyum seperti itu. Kali ini, apa yang
direncanakannya?
“Apa?” tanyaku begitu Rafa berhanti
tepat beberapa langkah dari ayunan tempatku duduk.
“Kenapa kau melupakan pertemuan
penting kelas kita? Aku melakukannya agar kau bisa cepat berbaur dengan
teman-teman. Tapi, kenapa kau malah tidak ikut?” tanya Rafa dengan suara
rendah.
“Aku sama sekali tidak memintamu untuk
melakukan itu untukku. Lagipula, apa urusanmu sih? Aku bisa berbaur atau tidak
itu urusanku. Kau sama sekali tidak berhak untuk memaksaku secara tidak
langsung seperti itu.” Protesku yang langsung membuat Rafa termenung beberapa
saat. Wajahnya yang biasanya
ramah tampak menyiratkan sedikit kekesalan. Ya, begitu. Kesallah padaku dan kau
tidak perlu lagi untuk berpura-pura berusaha menjadi temanku. Dan aku tidak
perlu bersusah payah mempercayaimu.
“Maaf.”
Tak kusangka dIa mengatakan hal itu
setelah aku mengatakan hal sekejam itu. Namun, terserah dia. Aku hanya berusaha untuk
membuatnya menjauh dari hidupku. Sejak 15 tahun hidupku, mungkin Rafa-ah orang
yang paling membuatku hampir merasa frustasi seperti ini. Aku hanya ingin dia berhenti berpura-pura dan
pergi.
“Tapi......” kudengar suara menjadi
lebih tegas. Dan itu sedikit membuatku takut akannya. “Apa kau tidak lelah
terus menjauhi semua orang layaknya mereka itu penyakit, Tyas?” di-dia memanggil nama belakangku.
“Memang semua ini berada di luar
kontrolku. Bisakah kau tidak menjauhi semua orang? Dan tidak menjadi anti sosial seperti ini? Kau boleh
menjauhiku, membenciku, atau terus mara padaku. Tapi tidak dengan menjadi
penyendiri seperti ini. Semua ini memang susah, tapi,-“
“Sudahlah, aku tidak ingin mendengar
kelanjutannya.”
Tanpa menoleh kearah Rafa, aku segera
beranjak kedalam rumah. Ini salahnya dan aku hanya berusaha agar tidak
merasakan hal yang berulang kali kurasakan. Itu menyakitkan....
“Aku akan terus berusaha agar kau bisa
berteman lagi!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar