Cafebahasaku.com

SELAMAT DATANG !!!

BLOGG INI MERUPAKAN SARANA SEBAGAI MEDIASI UNTUK MENAMPUNG SEGALA KREATIVITAS ANAK BANGSA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERKEMBANGAN BAHASA & SASTRA INDONESIA

Sabtu, 09 Mei 2020

Memory Puisi


AKU .......DALAM
BELANTARA   KATA & CINTA



Aku terlahir dari belantara kata-kata
dari dalamnya palung makna,
hingga suatu ketika
menjelma menjadi sebuah makna
dalam baris – baris sajak cinta

Aku lahir dari rahim bumi
dan tumbuh berurat  berakar
bak  ilalang  di musim semi,
‘tuk membebaskan kata-kata
dari penjara dusta
menafikkan setiap jengkal arti
menjadi prasasti

Dalam puisi aku sembunyi
mendera rasa pada satu senja,
aku mengembara dari remah-remah makna
yang  tercampakkan dari buku tua,
dan aku tak peduli
makna yang hendak kau beri
pada setiap jejak langkahku,
tidak juga resah
bila harus berakhir di keranjang sampah,
karena puisiku hanyalah setumpuk kata
yang kupungut dari bejana sunyi
satu demi satu.

Mendera rasa, pada malam menua
dan aku masih berpetualang
mencari  sisa-sisa kata
yang terlupa atau mungkin sembunyi
pada bejana hati
karena syairku hanyalah selembar makna
yang kuambil dari relung sepi
masih satu demi satu

  
Jangan mengeluh,  jangan pula mengaduh
saat kau eja lariknya
karena di situ bukan untuk lengkapi inginmu
bukan pula sembunyi dari bayang lalu
sebab kata-kata dalam syairku adalah fana
dalam angin kutepis segala ingin
sementara dalam diam ....
tak kutemukan pengharapan.

Mungkin itu yang sempat terucap
dalam sanubari hatimu
aku hanya menebak dan mengiranya
selebihnya .....hanya engkau
yang berhak ‘tuk menjawabnya


Kini semua tinggal kenangan,
namun aku bersyukur .....
telah sempat kutulis semua ini
dengan pena kecilku untukmu
meski hanya beberapa untaian kata
yang mungkin tak bermakna
ku berharap goresan pena kecil ini
kelak menjadi saksi bisu
‘tuk jadi sejarah kecil
yang pernah terukir di antara kita

Kelak suatu saat nanti
goresan pena kecil ini
‘kan menjadi saksi bisu,
 saksi bisu yang ‘kan dapat bererita
tentang sejarah  antara kita
di kawah Candradimuka
yang sempat mengentaskan
rajut asa cinta kita semua

Kuyakin sepenuhnya .....
kelak entah berapa lama
goresan pena kecil  tak bermakna ini
jika tiba saatnya
kita pasti ingin membukanya kembali.
               

                         

                               

Naskah Pelatihan Menulis gel. 11


Belajar dari Pengalaman Orang Lain
oleh: Denny Sofiastuti,M.Pd. (SMAN 21 Surabaya)




Puji Syukur patut saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena di siang hari pada bulan Ramadhan yang penuh berkah  ini saya masih diberi kesempatan untuk belajar guna menuntut ilmu tentang keterampilan menulis melalui yang disajikan oleh PB PGRI pusat ini.
Tak kenal maka tak sayang....perkenalkan saya Denny Sofiastuti,M.Pd sehari-hari mengajar di SMAN 21 Surabaya, saya tertarik untuk mengikuti pelatihan ini untuk lebih memperdalam kemampuan menulis yang saya miliki. Menyadari sepenuhnya bahwa kita sebagai manusia apalagi berprofesi sebagai pendidik tidak boleh berhenti belajar prinsip yang saya anut " Belajarlah semampang masih punya kesempatan, Tuntutlah ilmu walau harus sampai ke liang lahat" artinya kita tidak boleh berhenti belajar selama kita masih ada satu nafas di kerongkongan dan kita mampu melakukannya.

Bulan Ramadhan tahun ini jauh berbeda dengan Ramadhan sebelumnya, tahun ini ujian yang diberikan Allah untuk kita semua sangatlah berat. Tidak hanya diuji dengan ibadah tetapi kita juga diuji dengan kepedulian dan kesabaran yang  sangat luar biasa terhadap sesama dalam kondisi COvid -19 yang memporak porandakan dunia. Bukan tidak mungkin bahwa kita saat dalam kondisi  kekurangan namun demikian jiwa sosial kita masih tinggi untuk saling membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan.Di tengah masa sulit begini kita masih juga harus bersyukur karena masih ada kesempatan untuk menimba ilmu melalui media daring. Hal ini kita lakukan bukan hanya sebagai tuntutan tetapi semata-mata demi untuk meningkat kompetensi kita dalam melayani anak-anak didik  di bangku sekolah. Semakin banyak pengalaman maka pelayanan kita kepada siapa  saja akan semakin prima.

Mengomentari ceritera yang disajikan oleh Pak Jay dalam videonya yang berjudul NaikTanpa Persiapan, Turun Tanpa Penghormatan. Bahwa apa yang dilakukanya dalam ceritera itu sangatlah positif meski keputusan yang diambil tanpa persiapan seperti itu sarat dengan risiko. Tentu ada alasan yang membuatnya berani ambil keputusan menerima tawaran semacam itu, sebagaimana kita ketahui bahwa kesempatan tidak akan datang untuk kedua kali. Kemungkinan kedua beliau mengambil keputusan itu akan digunakan sebagai pengalaman, karena pengalaman adalah guru terbaik untuk memperoleh kesuksesan. Menurut saya beliau adalah seorang yang selalu optimis bisa maju dan cenderung pantang menyerah serta kaya ide dan gagasan. Terbukti ketika  mengalami kendala dengan laptopnya beliau masih mencari solusi bagaimana agar tetap bisa mengisi acara tersebut sebagai bentuk tanggung jawab dan kosekwensi agar tetap mendapat kepercayaan dari orang lain, sikap semacam ini identik dengan sikap gigih dan pantang menyerah. Makna yang dapat diambil kejadian semacam itu dapat diduplikasi oleh orang lain yang mengetahui peristiwa tersebut untuk dilakukan dalam moment yang meskipun tidak sama tetapi menuntut keberanian yang sama seperti itu.  

Apapun yang dilakukan manusia di dunia mengandung risiko, seseorang yang tak mau menanggung risiko dalam melakukan sesuatu berarti nyalinya kecil dan mentalnya lemah. Manusia dengan tipe ini cenderung negative tinking dulu sebelum bertindak akibatnya kegagalan demi kegagalan yang dialami tidak akan memberi pencerahan baginya tetapi malah sebaliknya, mereka akan semakin takut untuk bertindak. Sehingga orang-orang seperti ini akan selalu pasif di manapun mereka berada.

Pelajaran berikutnya yang dapat diambil adalah seberapa kecilnya jasa atau perbuatan seseorang meskipun tak kasat mata kelak akan mendatangkan keuntungan bagi pelakunya. Ibarat kita akan panen jagung kalau kita menanam jagung, tidak akan mungkin terjadi kita panen padi padahal yang kita tanam jagung. Artnya didunia ini berlaku hukum kausalitas yaitu sebuah prinsip sebab akibat yang ilmu dan pengetahuan yang secara otomatis bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantara ilmu yang lain, bahwa  setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan.

Demikian sedikit yang dapat saya tuliskan sehubungan dengan ceritera tentang Naik Tanpa Persiapan, Turun Tanpa Penghormatan. Kesimpulannya bahwa segala sesuatu itu akan kita dapatkan hasilnya apabila kita memiliki tekad dan semangat yang kuat. Yang lebih berharga lagi adalah hikmah yang akan kita dapat sangatlah besar apabila kita melakukan segala sesuatu itu tanpa pamrih didasari dengan rasa ikhlas Lillahi ta'ala.



Jumat, 08 Mei 2020

Naskah lomba menulis cerpen

KEPERGIAN   RIA
( Denny Sofiastuti )


Angin berhembus kencang udara dingin mulai datang menyapa.  Daun-daun jatuh berguguran. Cerahnya warna langit telah berganti menjadi gelap. Baju di depan rumah yang dari tadi pagi dijemur langsung diambil, dimasukkan ke dalam rumah. Kucing milik tetangga depan rumah berlari kencang lalu masuk ke dalam rumah, seperti takut jika bulu cantiknya terkena sesuatu.Serempak lampu dari rumah ke rumah dinyalakan agar ada sedikit cahaya yang menerangi. Suasana Ibu Kota tetap terang meski hanya dengan lampu-lampu rumah dan jalanan, tapi terangnya suasana Ibu Kota tidak sama terangnya dengan suasana langit.
Tepat pukul 19:00wib. Adzan berkumandang dari masjid kampung sebelah rumah. Kali ini suara adzan tidak sekeras biasanya, karena tertutup oleh derasnya tetesan air yang jatuh dari langit. Benar sekali, malam ini langit kembali bercerita. Seperti layaknya manusia. Ia meneteskan segala kesedihannya lewat tetesan air. Tetesan air yang rela jatuh berkali - kali meski sebenarnya mengerti bahwa yang jatuh itu rasanya sakit. Apalagi harus jatuh berkali-kali.
Tetesan air itu perlahan mulai membasahi tanah yang tadinya kering.Perlahan mulai membasahi pohon rimbun dan bunga yang mekar dengan sempurna. Perlahan mulai membasahi genteng rumah. Tidak, cerita ini bukan bercerita tentang terjadi nya hujan , asal usul hujan , berapa kali hujan turun dalam semalam , tanda-tanda datangnya hujan, atau bahkan menghitung seberapa banyak tetesan air yang turun selama hujan berlangsung. Perlahan tetesan air itu mulai membasahi jendela yang sedang aku tatap sekarang.
Namun, sekarang tempat ini menjadi tempat favorite ku.Tempat aku duduk dengan tenang dan beristirahat sebentar tentang berbagai masalah yang terjadi dalam hidup . Tempat aku berbagi semua yang aku rasakan dengan tetesan air hujan. Tempat di saat aku memikirkan banyak pertanyaan , tetapi tetap saja mulut ini selalu terasa kelu jika di minta untuk menyampaikan tentang pertanyaan itu. Pikiran ini tak lagi pernah kosong. Begitu juga tatapan mata ini. Terkadang bayang-bayang itu datang dengan cara tiba-tiba , seperti halnya kejadian nyata yang tepat terjadi dihadapan mata. Kejadian buruk yang baru aku ketahui. Kejadian buruk yang membuat hidup seseorang hancur sampai di napas terakhir hidupnya. Sungguh sangat menyakitkan sekali. Bahkan , jika aku diberi kesempatan untuk  mengetahuinya dari dahulu aku akan berusaha untuk menghiburnya, membuatnya tersenyum sepanjang hari. Tetapi Tuhan mempunyai rencana lain. Rencana yang lebih indah dari yang kita inginkan, seperti halnya kata-kata bijak itu ditulis.
“Bagaimana? Sudah siap dengan hari ini?“ Tanya suara yang tak asing lagi bagiku.
Benar sekali. Hari ini adalah hari pertama ku duduk di bangku SMA. Hari yang paling aku tunggu. Bertemu guru baru , sekolah baru , dan tentu nya teman-teman baru. Seperti nya hal itu sangat menyenangkan sekali.
Tepat saat aku berada di pintu pagar sekolah , bel masuk pun telah berbunyi. Tanpa menghiraukan pembicaraan pak Satpam , aku langsung menuju papan pengumuman dan mencari dimana nama ku tertera. Dengan cepat aku langsung berjalan mencari kelas ku yang baru. Seperti nya hari ini aku terlambat karena terlalu sibuk menyiapkan barang-barang yang aku bawa saat hari pertama ini. Untung saja , ada satu bangku yang masih kosong. Aku pun duduk dan meletakkan tas ku. Sambil menunggu guru datang , aku berkenalan dengan teman yang sebangku dengan aku. Sepertinya anak itu sedang bersedih, jika dilihat dari raut mukanya, dIa tak bersemangat seperti aku. Tanpa berpikir panjang dan sekalIan ingin menghiburnya aku langsung bertanya.
“Hei, boleh aku bertanya?“ Ujar ku yang setengah bingung. Dia hanya menoleh. Mengangguk. Lalu tersenyum padaku.
“Siapa namamu? Perkenalkan namaku Nilam,jawab ku sambil ikut tersenyum.
“Namaku Ria.” Sahutnya sambil mengajakku untuk bersalaman.
Sayangnya percakapan kami langsung berhenti. Cepat sekali guru itu masuk ke kelas kami. Padahal, masih beberapa menit yang lalu aku duduk dibangku itu lalu mengajak berkenalan
Ria. Lupakan soal berkenalan, karena hari pertama sekolah kali ini langsung disambut dengan pelajaran. Pelajaran kali ini pelajaran favorite ku. Sejak di bangku sekolah dasar aku sangat menyukai pelajaran yang mengandalkan hitung-hitungan dan sastra. Tidak hanya menyukai, aku juga berhasil memenangkan banyak sekali lomba dan olimpIade, seperti pelajaran Matematika , dan IPA.
Ditengah-tengah pelajaran, aku sering memperhatikan Ria. Sepertinya Ria sedang tidak baik-baik saja hari ini. Tatapan mata nya selalu kosong. Aku semakin penasaran ingin mengenalnya lebih jauh. Aku ingin menjadi teman dekatnya. Aku juga ingin menghiburnya. Saat istirahat pertama, aku menawarkan bekal yang ibu bawa kan kepadanya. Ria tak mau dan menolak dengan halus sambil tersenyum. Aku berfikir, mungkin Ria  masih malu karena kami masih baru berkenalan. Besok aku harus lebih sering mengajaknya berbicara , mengajaknya bercanda , dan berbagi bekal dengan nya.
Bel berdering tiga kali. Satpam bersIap untuk membuka pagar. Hari pertama sekolah telah usai. Waktunya kembali ke rumah, menceritakan kejadian hari ini bersama ayah dan ibu.
Hari kedua telah berjalan. Hari Ketiga tak ada hasil apa apa. Hari keempat juga tak mendapat hasil. Hari kelima tak ada perkembangan. Hari keenam sama saja. Hari ketujuh , pemilihan kegiatan sekolah, sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengenalnya.
Berpilin. Melesat. Lalu membuka mata. Sepertinya aku tak asing lagi dengan tempat ini. Benar sekali. Tempat ini adalah sekolah ku. Kelas ini adalah kelas pertama ku waktu dulu pertama kali masuk sekolah. Teman-teman semuanya duduk rapi dan di bangku belakang, Nilam bersama ku di sana. Tetapi anehnya ada seseorang yang tinggi dengan berjubah putih di sebelahku sekarang.
“Siapa kau? Bagaimana ini bisa terjadi?” tanyaku padanya.
“Tidak semua orang di dunia ini memiliki kesempatan yang sama seperti kau. Hanya orang-orang tertentu saja yang mendapatkan kesempatan ini. Kesempatan untuk menjawab semua pertanyaan yang sering kau tanyakan semasa hidupmu, Ria. Kau akan mendapat jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini membuat sesak dihati mu. Aku akan menemani kau menjawab segala pertanyaan yang pernah kau ucapkan. Dua pertanyaan , Dua jawaban. Bersiaplah!” Ungkap orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
***
Semua siswa diberi lembaran masing-masing untuk diisi. Lembaran itu berisi tentang kegiatan di sekolahku. Semua siswa sangat berhati-hati dalam mengisi lembaran itu, dan aku memilih untuk mengikuti English Club dan Paskibra Sekolah. Selain menyukai pelajaran, aku punya cita-cita untuk bisa jadi anggota Paskibra Nasional, yang bisa mengibarkan Bendera Merah Putih di tiang tertinggi di Indonesia.
Aku telah selesai mengisi lembaran itu. Tetapi , Ria masih sibuk menulis. Tanpa berpikir panjang aku pun melirik tulisan itu, dan ternyata dIa memilih kegiatan Paskibra dan Pramuka Jelajah. Aku ingin sekali lebih dekat dengan nya. Akhirnya, aku juga memilih untuk mengikuti Pramuka Jelajah. Semoga saja keinginan ku bisa tercapai.
“Kau sudah mengisi lembarannya?” Ujar ku pada si tomboi teman sebangkuku itu.
“ Sudah. Bagaimana dengan kau?” Jawab Ria yang selama ini selalu dIam.
“ Sudah. Aku mengikuti English Club , Paskibra , dan Pramuka Jelajah.” jawabku.
“ Baiklah , kita akan bertemu di Ekstrakulikuler juga.” jawabnya singkat.
“Oh ya? Kau mengikuti apa saja? Mengapa kau ikuti itu ?” tanyaku pura pura tak tau.
“ Aku suka tantangan dan keadaan alam , maka dari itu aku mengikuti Pramuka Jelajah. Dan aku sangat mencintai tanah air , maka dari itu pula aku mengikuti Paskibra.” jawabnya singkat dan jelas. 
Ternyata dugaanku benar sekali. Lucu sekali memang. Namanya berarti malaikat. Tetapi , Gaya dan cara berbicaranya sama sekali tak seperti seorang wanita , namun seperti seorang laki-laki. Nanti, jika aku sudah dekat dengannya , aku akan memanggilnya dengan sebutan “ Malaikat Tomboi” . Ria pasti akan tersenyum, karena sebutan itu sangat lucu sekali.
Belum lama setelah mengisi lembaran itu, aku dan Ria dipanggil untuk menuju ke ruangan Pramuka Jelajah di sebelah kantin sekolah. Ternyata, aku dan Ria terpilih menjadi satu kelompok untuk melaksanakan tugas sebelum resmi menjadi anggota Pramuka Jelajah. Pembina Pramuka Jelajah meminta Aku dan Ria untuk melakukan perjalanan berpetualang semalam , di alam yang bebas. Kebetulan saja tidak hanya Aku dan Ria , tapi juga bersama satu kelompok lain lagi. Hutan Bambu menjadi tempat berpetualang Aku dan Ria. Mendengar hal itu raut muka nya tak pernah sebahagia ini.
Bel pulang pun sudah terdengar. Aku meminta Ria untuk pergi ke rumah ku , mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa saat berpetualang besok. Ria pun mengangguk, setuju dengan permintaanku.
Sesampainya di rumah , aku langsung mengajak Ria untuk ke kamar ku. Ria sangat berpengalaman dalam mempersiapkan barang-barang yang akan kami bawa saat jelajah besok. Ria juga sangat terampil dalam mengajari aku tentang apa yang harus disiapkan, berapa banyak kami harus membawa nya, dan bagaimana cara mengemas dengan baik ditas kami. Kami sudah mulai bergurau. Sepertinya Ria sudah mulai senang berteman dengan aku.
Semua nya sudah siap. Tertata rapi di dalam dua tas yang akan kami bawa. Setelah lelah mengemas perlengkapan, aku pun mengajak Ria untuk turun dan makan bersama ayah dan ibu. Ketika duduk di meja makan, raut wajah Ria langsung berubah. Aku tak tau mengapa tiba-tiba seperti itu, aku hanya berpikir bahwa Ria masih malu jika harus bersama ayah dan ibu. Aku berusaha membuat raut wajahnya kembali seperti tadi.
Hari berjalan dengan cepat , seperti harimau yang sedang mengejar mangsa nya. Pagi cepat digantikan dengan siang. Siang tergantikan dengan sore. Sore berganti dengan malam. Tak terasa , aku sudah berada di bus sekolah, bersiap untuk berpetualang dengan Ria.
“Kau mau berjelajah atau pergi ke mall?” Ujar Ria setengah menggoda aku.
“Apa yang salah? Apa aku terlihat lebih cantik?” Jawab aku ikut menggoda.
“Kau memakai seluruh jepit yang kau punya, kau juga memakai jam tangan dan gelang sebanyak selusin. Eh, kau juga memakai sepatu yang seperti itu. Bisa ku jamin, jepit dan gelang yang kau pakai akan berkurang banyak setelah kita pulang nanti.” Ungkap Ria yang sekali lagi menggoda aku.
“Hei, rupa nya kau memperhatikan aku ya? atau kau tidak suka jika aku berdandan seperti ini?Aku terlihat cantik dengan pernak-pernik yang ku pakai. Kau juga terlihat sangat tampan sekali dengan sepatu bot itu, seperti bukan perempuan.”  Jawab aku membalas godaan Ria.
“Aku selalu terlihat tampan, dan ketampananku cocok sebagai seorang penjelajah. Tidak seperti kau, penjelajah yang salah pakaIan seperti mau ke mall.” Jawab nya singkat namun lucu sekali.
Baru kali ini aku berada ditempat seperti ini. Udara sejuk, pemandangan yang sangat asri sekali membuatku tak pernah berhenti memuji yang ada dihadapanku saat ini. Disertai dengan embun dan kabut yang membuat pemandangan semakin cantik. Burung-burung kembali berterbangan, sepertinya sedang mencari mangsa. Aku yang sedang berdiri di depan tenda merasa sangat tenang sekali. Sungguh indah sekali kuasa-Mu ini.
“Jika kau terus menerus berdiri di depan tenda, menikmati pemandangan, tugas kita tidak akan selesai. Segera ambil tas dan barang barang yang kau perlukan. Kita akan mencari simbol tunas kelapa, padi dan kapas, dan lambang pramuka. Aku tunggu disini.” Ujar Ria yang setengah serius setelah menggoda aku.
“Siap Laksanakan Komandan.” Jawabku menggoda Ria.
Perjalanan yang pertama kali aku lakukan. Mencari simbol-simbol itu. Semua nya telah kita temukan. Meskipun, harus melewati rumput-rumput, lumpur yang sangat bau, dan pohon yang tumbang. Saat nya kita bersIap untuk pulang. Mengemas kembali barang-barang yang kami bawa. Perjalanan pulang sepertinya lebih cepat dibanding perjalanan saat aku dan Ria bersIap untuk menyelesaikan tugas. Tak terasa juga kita sudah sampai di sekolah dan bersIap untuk kembali ke rumah.
Saat aku membongkar seisi tasku , mengeluarkan perbekalan yang aku bawa kemarin bersama Ria , aku menemukan sesuatu. Sepertinya aku tak pernah menyimpan selembar kertas yang sudah berubah warna nya itu dan aku juga tak membungkus peralatan dengan selembar kertas itu. Aku rasa ini milik Ria. Besok, ketika masuk sekolah aku akan mengembalikan selembar kertas itu pada nya.
***
“Mengapa aku harus sekolah dan bertemu teman-teman baru yang lengkap mempunyai ayah dan ibu? Itu pertanyaan pertama kau , Ria. Pertanyaan yang sampai sekarang masih mengusik hati dan pikiran kau.” Ujar orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Aku tidak akan menjawab seperti Ibu Panti, bahwa kau harus sekolah karna kau mempunyai masa depan. Tidak, aku tidak akan menjawab seperti itu karena kau berbeda.  Jika anak lain bersekolah hanya mendapatkan ilmu dan pengalaman saja, kau mendapatkan lebih. Kau mendapat guru yang tak dapat kau dapatkan dimana saja, yaitu pengalaman. Kau diberi pengalaman untuk mengenal berbagai hal, termasuk arti persahabatan. Lewat sekolah kau dipertemukan dengan Nilam, seseorang yang tak pernah kau kenal sebelumnya. Apa kau mengerti? Nilam sangat menghargai persahabatan yang kalIan jalani. Ia sangat mementingkan kebahagiaan yang dapat kau rasakan. Ia juga sangat bangga bisa bersahabat dengan kau, dan Ia sangat teramat menyayangi persahabatan yang kalIan jalani. Itulah kebahagIaan yang belum pernah kau rasakan dan kau ketahui selama ini, Ria.” Sambung orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Itulah jawaban dari pertanyaan pertama kau , Ria. Satu hal yang tak pernah kau mengerti, akhirnya telah terungkap. Terus terang saja, aku sangat iri melihat persahabatan kalIan. Persahabatan yang tak seperti biasanya, namun memiliki warna yang sangat berbeda.” Kata orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
Aku menyeka ujung-ujung mataku. Terharu. Aku tak pernah menyangka jika ada seseorang yang sangat bangga pada ku, seperti Nilam. Aku juga sangat menyayangi persahabatan kita. Aku akan berdoa yang terbaik untuk kau selalu, Nilam.
***
“Apa ini milikmu?” tanyak ku sambil memberikan selembar kertas itu.
“Kau dapat dari mana?” Jawabnya sambil langsung mengambil selembar kertas itu.
“A..aku menemukannya di tas. Apa itu penting?” Jawabku terlihat gugup.
“ Tak apa, ini hanya selembar kertas.” Ujar Ria seperti ada yang ditutupi.
Aku bingung. Entah apa yang disembunyikan Ria terhadap aku. Lupakan soal lembaran kertas, karena aku dan Ria harus pulang. Mempersiapkan segala keperluan untuk upacara memperingati hari Kemerdekaan besok. Berharap esok tak ada hambatan apapun.
Tetapi, harapan itu sirna sudah. Entah apa rencana langit pada pagi ini dan apa juga kehendak Tuhan di pagi yang sangat cerah ini. Ketika pemimpin upacara berterIak untuk hormat kepada bendera merah putih , raut wajahnya mulai pucat. Aku yang sedang menarik bendera tidak konsentrasi melihat raut wajahnya. Lagu Indonesia Raya akan berhenti beberapa detik lagi.
Saat pemimpin upacara memberi aba-aba untuk kembali bersiap, malaikatku langsung jatuh.  Langsung seisi lapangan sibuk dengan percakapan siapa yang jatuh pingsan dan mengapa hal itu bisa terjadi. Aku langsung berlari menghampirinya, tak meghiraukan banyak percakapan yang ada.
“Ria, aku  bertahanlah..bertahanlah.” Kata ku sambil menggendongnya ke ruangan kesehatan sekolah
“Ria, aku di sini...aku mohon bertahanlah, dengarkan aku.” Ujar ku sambil menangis.
Penjaga ruang kesehatan sekolah menyuruhku untuk keluar, dan memutuskan untuk membawa Ria ke rumah sakit terdekat. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Selama ini , Ria tak pernah seperti ini. Kesehatan fisiknya selalu kuat, seperti seorang laki-laki. Bergegas aku langsung ikut pergi ke rumah sakit.
“Aku mohon selamatkan sahabatku...aku mohon.” teiakku di ruang utama rumah sakit.
“Tenanglah, nak. Sahabatmu akan baik-baik saja.” Jawab dokter separuh baya itu.
Lama sekali dokter memeriksa keadaan Ria. Pikiranku sudah kacau. Membayangkan hal buruk akan terjadi. Entah apa rencana Tuhan hari ini. Aku berdoa, semoga hal buruk itu tak pernah terjadi. Tak lama setelah itu, dokter pun keluar dengan wajah yang tak semestinya.
“Bagaimana pak? Dia baik baik saja kan?” Kata ku sambil menangis.
“Maafkan aku , nak. Kuatkan lah hati mu.” Ucap dokter sambil menyentuh pundakku.
Tak puas dan tak mengerti apa arti jawaban dari pak dokter, aku langsung memutuskan untuk masuk ke dalam. Tuhan, benar sekali pikiranku tentang hal buruk itu. Ria sudah tersenyum. Menutup matanya untuk selama-lamanya. Apa rencana-Mu ? Mengapa engkau tega mengambilnya dari aku? Bahkan aku belum sempat untuk mengucapkan kata-kata terakhir untuknya, aku juga belum sempat mengucapkan kata-kata selamat tinggal.
“Mengapa kau tega meninggalkan aku? Kau juga tega meninggalkan persahabatan kita? Mengapa?” Ucapku sambil menangis di sebelahnya.
Semenjak kejadian itu, semuanya terasa sangat hampa. Ucapan bela sungkawa, kalimat penenang, tak mampu lagi membendung kesedihan ini. Aku tidak bisa melihat senyumnya lagi, melihat gaya bicara nya yang sangat lucu sekali. Hanya ditemani barang-barang miliknya yang sengaja oleh Ibu Panti Asuhan diberikan padaku. Sampai suatu malam aku menemukan selembar kertas itu lagi, namun aku masih tak berani membukanya karena itu masih menjadi barang miliknya.
***
“Di mana aku?” tanya ku pada orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Tempat ini adalah tempat kau tinggal bersama ayah dan ibu. Tempat yang mampu memberikan kau kebahagiaan yang tak pernah kau dapatkan sampai sekarang. Mari kita lihat apa yang terjadi. Aku akan menjawab pertanyaan terakhir milik kau disini, Ria. Kau akan mengerti cerita yang sesungguhnya. Bersiaplah. Kuatkan hatimu.” Ujar orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
Anak kecil yang berusia sekitar tiga tahu itu dibawa pergi ke atas. Waktunya untuk tidur. Ibunya menggendongnya menuju atas. Ayahnya masih melihat tontonan televisi yang sedang menyIarkan tentang pertandingan bola. Tak lama kemudian, ayahnya menyusul naik ke atas, mengantuk.
“Tidak ada yang tau apa yang akan terjadi pada pukul tiga dini hari itu. Semua nya tidur, terlelap. Tidak ada yang mendengar teiakkan para penduduk di perumahan itu. Kau, Ayah, Ibu terlelap dalam mimpi masing-masing. Sampai akhirnya kobaran api itu menyambar lantai dua rumah milik ayah ibu kau.” Kata orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Ayah..!! Ibu..!! Bangunlah aku mohon!!” Teriakku membangunkan mereka.
“Kau tidak bisa membangunkannya , Ria. Kau tidak bisa melakukannya” Jawab orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Aku mohon, kau pasti bisa membangunkannya. Tolong, tolong selamatkan ayah dan ibu ku.” Pinta ku sambil menangis.
“Kau terlambat , Ria. Sangat terlambat. Kau tidak bisa merubah kejadIan di masalalu. Di sini kau hanya bisa melihat dan kau di sini juga karena permintaan ibu kau di detik-detik terakhir hidupnya.” Tutur orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu sambil menyeka ujung matanya.
“Apa maksud dari yang kau bicara kan?” kata ku menangis sambil memegang tubuh kedua orangtuaku yang telah menjadi abu.
“Di saat semua bagian dari rumah kau akan terbakar, ibu mu menaruh kau di parit. Berharap kau bisa selamat. Ketika ibu mu akan menjemput detik-detik terakhir hidupnya , Ibu mu berkata ‘Bagaimana bisa anak ku mengenal wajah ayah ibunya, Tuhan? Bagaimana bisa?’ . Maka, malam ini kau diberi kesempatan melihat wajah ayah-ibu mu atas permintaan ibu mu di detik-detik terakhirnya, Ria.” Jawab orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Sungguh,tega sekali orang yang ingin membakar perumahan milik orangtua mu yang akan dijadikan sebagai pusat perbelanjaan itu. Apa kau mengerti? Siapa yang menyuruh menghabiskan rumah dilahan ini? Bahkan , kau tidak asing jika melihat wajah orang ini.” Sambung orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu
“Apa aku tak salah melihatnya? Ini Ayah Nilam.” Kata ku dengan nada suara yang tinggi.
“Kau benar sekali. Ayah Nilam yang akan membangun pusat perbelanjaan itu. Tapi, ayah Nilam tak pernah ingin membunuh semua orang yang ada di perumahan itu. Ayah Nilam sudah menyuruh orang untuk membangunkan seluruh warga diperumahan itu. Entah mengapa orang itu tak melaksanakan tugasnya. Mengapa juga malam itu tidak turun hujan sehingga kebakaran itu tak terjadi. Maka dari itu, ayah Nilam selalu baik pada kau , Ria. Ayah Nilam tau jika kau salah satu anak dari korban kebakaran itu. Bahkan, Nilam tak pernah mengerti jika kau salah satu korban dari bisnis ayah nya itu. Kau tak boleh sepenuhnya menyalahkan ayah Nilam, Ria. Kau boleh saja menyalahkan orang yang disuruh membangunkan seluruh warga pada malam itu. Kau juga boleh menyalahkan langit yang tak menurunkan hujan pada malam itu. Tapi kau tak bisa mengubah takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan , Ria. Kau tidak bisa.” Sambung orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Tugasku sudah selesai menemani kau dan menjawab dua pertanyaan yang telah mengusik hidup mu selama ini, Ria. Kuatkan lah hati mu, karena yang mempunyai nasib yang lebih buruk dari kau masih banyak, dan kau satu-satu nya yang beruntung bisa memiliki kesempatan ini. “ Kata-kata orang tinggi berjubah putih dengan wajah yang menyenangkan itu.
“Aku harus bisa kuat. Aku harus bisa menerima semuanya.” Kata ku sambil mengusap air mata yang tak berhenti menetes dari tadi.
***
Entah apa yang terjadi padaku. SetIap aku melihat barang-barang miliknya semuanya langsung kembali. Senyum manis diwajahnya, Gaya bicaranya, Raut mukanya yang penuh teka-teki membuatku tak mampu membendung rasa kehilangan ini.Bahkan aku belum sempat memanggilnya dengan sebutan ‘Malaikat Tomboi’. Air mata ini langsung jatuh, sangat deras. Derasnya air mata ini sama dengan derasnya tetesan air yang jatuh dari langit. Derasnya tetesan air yang mulai membasahi jendela yang sedang aku tatap sekarang. Mata ini memang menatap jendela, menatap diluar sana semunya terasa bersedih.
Menatap jendela dengan penuh kesedihan, itulah tempat favorite ku semejak kehilangan Ria. Aku akan mendoakan kau dari sini, Ria. Aku akan tetap membahagIakan kau meskipun kau tak bersamaku sekarang. Karena bagiku kau sama seperti arti namayang orangtua kau berikan. Kau sudah menjadi malaikat untukku, untuk semua orang, dan untuk tanah air.



Di balik Nasi Goreng Seefood

          Ting tong. Ting tong. Ting tong. Ting tong.
          Suara bel depan rumah yang terus dibunyikan lantas membuatku langsung membuka mata kesal. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Kulirik jam di atas nakas
telah menunjukkan Pukul 07.00.
          Sudah agak siang rupanya, berarti aku ketiduran lagi setelah shalat subuh. Kata Mama seusai shalat subuh harusnya nggak boleh tidur. Tapi mau gimana lagi? Aku sangat mengantuk pagi ini. Oh iya, sepertinya bel itu sudah tidak berbunyi lagi. Apa tamu asing itu sudah pergi? Kalau iya, bagus sudah. Aku bisa tidur lagi.
          Tok tok tok
          Sekarang gantian pintu kamarku yang berbunyi. Membuatku kembali membuka mata. Namun, aku kembali memejamkan mata. Karena selain mengantuk, aku juga sedang tidak ingin berpisah dengan kasur empuk nan nyaman pada saat liburan begini.
          “Rei, apa kamu sudah bangun? Ada Rafa di bawah.” Suara Mama terdengar sampai telingaku yang berada dibalik selimut. “Mama masuk, ya.”
          Terdengar suara pintu dibuka, lalu tidak ada lagi selain suara pintu yang kembali menutup. Mama mengira kau tidur, mungkin. Ya, sudahlah. Lagipula, aku sama sekali tidak ingin melihat muka Rafa dihari libur begini.
          Entah kenapa, firasatku mengatakan aku hanya akan terkena masalah jika Rafa menampakkan wajahnya di hadapanku atau aku yang melihatnya.
          “Sudahlah, daripada mikir yang enggak-enggak, mendingan aku tidur lagi.”
                                                          *******
          Persahabatan. Kata benda dari hubungan dua orang yang saling mengenal kemudian menjadi teman dan menjadi lebih dekat. Saling menjaga dan menolong saat ada masalah. Intinya, suka duka bersama. Dan sahabat adalah para pelaku dalam persahabatan. Orang-orang beruntung yang dapat tulus menyayangi seseorang sekaligus beruntung karena dikarunIai seorang sahabat yang juga balik menyayanginya. Namun, beberapa orang selalu salah mengartikan hubungan antara dua orang atau lebih terhadap persahabatan. Hanya dengan saling mengenal, dekat, mereka menjadi sahabat. Padahal, bukan itu inti dari sahabat. Definisi sesungguhnya dari sahabat adalah orang yang selalu perhatIan, ada disaat kau senang atau sedih. Bukan hanya sekedar menyapa dipagi hari, saling berbicara tentang topik ter-hits, kemudIan mengucapkan ‘dah’ saat berpisah. Tidak. Jelas bukan. Sahabat memiliki sesuatu yang lebih daripada itu. Lebih natural dan tulus. Seakan setIap kalian bertemu, tidak ada lagi kejelekan yang kalian pendam karena dengan sahabat, watak asli kalian, mau tidak mau akan terlepas macam merpati yang baru saja keluar kandang setelah hujan deras melanda.
          Atau, kurasa ada definisi lain soal itu dan penjelasan yang lebih bisa dimengerti orang yang awam akan persahabatan seperti diriku. Entahlah, aku tidak yakin betul pasal kata berbunyi  ‘S-A-H-A-B-A-T.’ Apa begitu pentingnya seorang sahabat untuk makhluk bernama manusIa? Padahal, saat mereka dilahirkan kedunia, mereka sendiian dan saat menemui ajal pun mereka pasti akan sendiian. Lalu, apa gunanya sahabat? Tidakkah dari penjelasan, sahabat hanyalah pengisi waktu dihidup agar hidup jadi tidak membosankan? Hanya itu. Menurutku, sahabat hanyalah sebuah kata tanpa arti, dan tanpa guna. Bersosialisasi dengan seseorang yang hanya akan menyusahkan atau memanfaatkanmu itu adalah hal yang tidak berfaedah sedikit pun dan juga hanya membuat waktu berhargaku terbuang sia-sia.
          “REINA !!!”
          Langsung saja kututup novel bertemakan persahabatan yang membuat pikiranku menjadi tidak terkontrol untuk memikirkan sesuatu yang tak berarti seperti persahabatan. Mungkin, aku tidak perlu membacanya lagi. Ya, lagipula tidak ada artinya juga buatku, apakah aku membacanya atau tidak.
          “REINA !!”
          Segera saja kuletakkan kembali novel itu ke rak paling atas. Tempat buku-buku yang sudah sangat jarang kubaca. Ya, tempat di mana novel-novel bertemakan sesuatu yang berbau ‘persahabatan.’
                                                          *******

          “Kenapa kamu lama sekali, Rei?”
          “Maaf, Ma.” Kataku langsung membuat mama terkekeh geli.
          “Melamun lagi?” seperti bIasanya, tebakan belIau selalu benar. “Kamu jangan suka melamun gitu dong, Rei. Mama suka paranoid kalau kamu nggak jawab panggilan Mama sampai tiga kali.”
          Aku hanya bisa mengangguk. Karena memang akhir-akhir ini aku lebih suka melamun. Mungkin ini efek liburan yang hanya kuhabiskan dengan berdIam diri terus di rumah. Aku bahkan belum menginjakkan kakiku keluar sejak seminggu yang lalu. Mama bahkan pernah mengira aku terkena penyakit aneh dan memanggil dokter spesIalis ke rumah.
          “Rei! Tuh kan, kamu melamun lagi!” ujar Mama sembari terus menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku. “Ya ampun, lama-lama Mama bisa jadi stress kalau ngomong tapi nggak ada yang peduli.”
          “Maaf, Ma.”
          Mama kemudian meletakkan piring berisikan nasi goreng seafood tepat di hadapanku. Mencium baunya saja sudah tergoda apalagi melihatnya. Jelas tidak tahan. Lagipula, perutku sudah terlalu lapar untuk menahan godaan yang terpampang jelas di hadapan. Kuraih sendok dan langsung melahap makan siangku.
          “Pelan-pelan. Kalau mau nambah, masih banyak kok.” Mama tersenyum ke arahku. “Oh iya, tadi pagi Rafa datang lho. Katanya mau ngajak ketemuan bareng teman-teman baru kamu di SMA. Tapi kamu masih tidur makanya Mama bilang kamu nggak ikut. Nggak pa-pa, kan?”
          Aku mengangguk saja. Lagipula, apa sih yang dipikirkan Rafa? Sudah kubilang aku sama sekali nggak tertarik pasal semua yang berkaitan dengan sosialisasi. Apalagi rencana Rafa yang terpampang jelas di wajahnya seperti proposal begitu berhadapan denganku. Entah kenapa tetanggaku sejak kecil itu selalu saja merencanakan hal-hal aneh untuk membuatku bisa berteman.
Sejak dulu, hal itu mustahil karena aku home schooling. Tapi saat menginjak bangku SMA, Mama dengan teganya memaksaku masuk ke SMA Negeri di dekat rumah. Padahal, aku sudah sangat-sangat nyaman dengan dunIaku. Menurutku, tidak ada seorang pun yang bisa dipercayai. Apalagi, untuk anak-anak SMA. Kelabilan mereka hanya akan mendatangkan rasa sakit secara berkala. Lebih baik aku tidak punya teman sekalian.
          “Tapi, Rei. Mama kok nggak pernah lihat kamu ngomong sama orang lain gitu, ya? Sama Rafa juga kayaknya cuma ala kadarnya. Kamu punya teman kan, Rei?” Mama lantas menatapku dengan tatapan khawatir yang selalu memunculkan kerutan di antara kedua alisnya. Ciri khas Mamaku. “Kamu nggak anti sosIal, kan?”
          “Apa pentingnya punya teman atau tidak? Aku cuma perlu diriku sendiri untuk hidup. Tidak perlu orang lain. Aku akan berusaha menangani semua masalah yang kualami.” Jelasku pelan. Karena jika aku mengatakannya dengan nada biasanya, aku hanya akan berakhir diceramahi sepanjang hari. Atau parahnya sepajang liburan.
          “Kenapa? Kamu masih trauma tentang kenangan buruk dari Papa?”
          Aku menggeleng cepat. Yang malah membuat Mama semakin menatapku curiga.
          “Jangan pikir semua orang itu sama, Rei. Tidak semua orang akan mengkhianati orang lain semudah membalikkan tangan. Lagipula tidakkah kamu bosan sendirian terus?”
          “Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu, Ma. Mama tahu sendiri, ‘kan kalau Papa.....,-“
          “Mama memasukkanmu ke SMA Negeri dengan tujuan traumamu itu bisa hilang, sayang. Peristiwa itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Sebaiknya kamu lupakan saja dan mulai yang baru. Cobalah berteman.” Mama memotong perkataanku. Jadi, Mama juga masih sensitif kalau aku menyinggung soal papa.
          “Aku hanya terus mengingat hal penting dari peristiwa menyakitkan itu, Ma. Aku akan selalu membatasi gerakan orang-orang disekitarku. Aku sama sekali tidak akan mempercayai orang semudah Mama mempercayai kebohongan Papa saat itu.” Kataku sebelum berdiri dan beranjak dari ruang makan.
          Sesaat sebelum aku benar-benar keluar dari ruangan itu, kudengar perkataan mama yang serasa menyayat hatiku. Namun, apalah daya. Aku hanya tidak ingin kembali merasakan perasaan sesak nan menyiksa yang akan membuat dadaku seperti terhimpit.
                                                *******
          Akan lebih baik jika manusia bukan makhluk sosial.
          Yah......begitulah kalimat yang selalu berputar mengitari kepalaku selama liburan kali ini. Aku benci IPS. Apapun yang berkaitan dengan IPS. Terutama pasal bersosIalisasi. Itu kelemahan mutlak milikku yang hanya diketahui oleh mama. Semua orang mungkin mengira aku membenci orang lain yang asing bagiku. Walau itu benar, aku melakukannya hanya untuk menjaga hatiku dari yang namanya ‘pengkhianatan’.
          Kriet.....
          Aku langsung menoleh begitu kudengar suara pagar belakang rumah terbuka. Jika saja karena angin seperti biasanya, mungkin aku takkan kaget. Namun, beda lagi jika tangan Rafalah yang membuka gerbang itu. Jelas ini membuatku langsung menekuk wajah dan menatap kearahnya tajam.
          “Hai.” Tanpa permisi, dia masuk kedalam taman belakang rumahku dengan lambaian tangan serta senyuman. Entah kenapa, dia membuatku agar was-was saat tersenyum seperti itu. Kali ini, apa yang direncanakannya?
          “Apa?” tanyaku begitu Rafa berhanti tepat beberapa langkah dari ayunan tempatku duduk.
          “Kenapa kau melupakan pertemuan penting kelas kita? Aku melakukannya agar kau bisa cepat berbaur dengan teman-teman. Tapi, kenapa kau malah tidak ikut?” tanya Rafa dengan suara rendah.
          “Aku sama sekali tidak memintamu untuk melakukan itu untukku. Lagipula, apa urusanmu sih? Aku bisa berbaur atau tidak itu urusanku. Kau sama sekali tidak berhak untuk memaksaku secara tidak langsung seperti itu.” Protesku yang langsung membuat Rafa termenung beberapa saat. Wajahnya yang biasanya ramah tampak menyiratkan sedikit kekesalan. Ya, begitu. Kesallah padaku dan kau tidak perlu lagi untuk berpura-pura berusaha menjadi temanku. Dan aku tidak perlu bersusah payah mempercayaimu.
          “Maaf.”
          Tak kusangka dIa mengatakan hal itu setelah aku mengatakan hal sekejam itu. Namun, terserah dia. Aku hanya berusaha untuk membuatnya menjauh dari hidupku. Sejak 15 tahun hidupku, mungkin Rafa-ah orang yang paling membuatku hampir merasa frustasi seperti ini. Aku hanya ingin dia berhenti berpura-pura dan pergi. 
          “Tapi......” kudengar suara menjadi lebih tegas. Dan itu sedikit membuatku takut akannya. “Apa kau tidak lelah terus menjauhi semua orang layaknya mereka itu penyakit, Tyas?” di-dia memanggil nama belakangku. “Memang semua ini berada di luar kontrolku. Bisakah kau tidak menjauhi semua orang? Dan tidak menjadi anti sosial seperti ini? Kau boleh menjauhiku, membenciku, atau terus mara padaku. Tapi tidak dengan menjadi penyendiri seperti ini. Semua ini memang susah, tapi,-“
          “Sudahlah, aku tidak ingin mendengar kelanjutannya.”
          Tanpa menoleh kearah Rafa, aku segera beranjak kedalam rumah. Ini salahnya dan aku hanya berusaha agar tidak merasakan hal yang berulang kali kurasakan. Itu menyakitkan....
          “Aku akan terus berusaha agar kau bisa berteman lagi!”